Hari pun Tiba
Hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa
Kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka
Kau pun menyapa: ke mana kita
Tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya
Tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
Tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema
Sewaktu hari pun merapat
Jarum jam sibuk membilang saat-saat terlambat.
Tema Puisi: Perasaan sedih saat tiba waktu berpisah dengan seseorang yang dicintai
Tiba Waktunya
Matahari terbit seperti biasanya di pagi ini. Tampaknya kelas hari ini akan terasa seperti hari kemarin. Aku menyampirkan handukku menuju kamar mandi dengan membawa handphoneku. Aku mengeceknya. Tidak ada yang menarik lagi di handphoneku setelah kami menyelesaikan hubungan yang sudah berjalan hampir dua tahun. Sebetulnya kami sering tidak sengaja berpapasan di kampus, tapi tak satupun kata sapa terlontar diantara kami. Entah kenapa belakangan ini dia sering lewat di pikiranku. Dia merupakan satu-satunya manusia yang memberi banyak pengalaman di hidupku. Tidak seharusnya aku merenungkan hal ini pagi-pagi. Ah sudahlah, tak ada gunanya mengenang masa lalu. Bisa bisa aku terlambat ke kelas hari ini.
Waktu menunjukkan pukul 10 pagi, sudah saatnya aku beranjak dari asramaku. Perutku sudah bergemuruh sejak tadi pagi seperti menyuruhku menyantap makanan sesegera mungkin. Sepertinya bubur ayam menjadi pilihan makanan yang tepat untuk pagi ini. Dulunya kami sering membeli bubur ayam ini bersama, sampai bapak tukang bubur itu hafal. Aku menghabiskan makanan ini lebih lama dari biasanya. Aku merasa kebanyakan melamun tadi, harus lebih fokus lagi hari ini. Di pagi menjelang siang ini aku mengendarai kuda besi ku menuju kampus. Perjalanannya sedikit tergesa-tergesa karena sudah mepet waktu masuknya. Ternyata, sudah terlambat 15 menit waktu aku tiba. Dosenku juga acuh tak acuh saja dengan keterlambatanku.
Kelas siang hari ini membuatku mengantuk. Pengajarnya juga wanita separuh baya yang sangat bawel tentang mata kuliah yang ia ampu. Pelajaran baru berlangsung setengah jam dan aku sedikit terlamun lagi. Aku menyadari kalau tiga hari terakhir belum melihat dia di kampus. Apakah dia sakit? Dia bukan tipe orang yang gampang jatuh sakit selama ini. Apa mungkin bolos? Hal ini menjadi pikiran ditengah pelajaran yang membosankan ini. Mungkin nanti pulang coba ku cari tahu. Sebenarnya ini tidak perlu aku lakukan, namun aku akan mengikuti perasaanku kali ini. Aku masih harus melanjutkan pelajaran ini dan menunggu hingga selesai. Selesailah kelas hari ini, aku bersegera menuju arah kelas dia. Dua temannya masih duduk di bangku depan koridor. Mereka tidak terlalu dekat dengan dia tapi tahu kalau dulunya kami pernah berpacaran. Dua anak itu memberitahuku bahwa ia tidak masuk hari ini sebelum aku sempat bertanya. Aku hanya termenung dan mengangguk mengiyakan. “Tapi, kami gatau kenapa dia ga masuk hari ini. Handphonenya pun tidak bisa kutelepon,” tambahnya sebelum aku beranjak pergi dari situ.
Aku terheran mendengar pernyataan temannya tadi. Pikiranku mulai memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang sedang terjadi pada dia. Sempat terpikirkan untuk menghampirinya di rumah, namun hal itu sedikit berlebihan untuk kami yang sudah menjaga komitmen tidak berhubungan lagi selama dua bulan ini. Mungkin jatuh sakit? Mungkin sedang banyak masalah? Mungkin pula sedang liburan menikmati me-timenya. Pikiran-pikiran ini mengiringi ku di jalan pulang.
Perjalananku menuju asrama tersela ketika handphoneku bergetar notifikasi pesan masuk. Aku tau ini notifikasi pesan darinya karena aku masih memasang nada dering khusus pada kontaknya. Sebuah pesan singkat terpampang dilayar gawai yang membuatku sedikit kaget tak percaya. Benar ini pesan dari dia. Pesan singkat yang berisikan ajakan untuk bersua kembali di taman kota pukul 5 petang. Seorang diriku tak percaya bahwa dia telah mengajakku untuk bertemu kembali setelah dua bulan tidak saling menghubungi. Harga diriku langsung terbang entah kemana diwaktu aku membalas pesannya saat itu juga. Ia tidak menjelaskan apa yang menjadi maksud dan tujuannya mengajakku bertemu kembali. Setelah obrolan singkat lewat chat, akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Perasaan tak percaya dan terkejut masih membayangiku selama sisa perjalanan pulang. Sesampainya aku di kamar, aku meyakinkan diriku sendiri untuk tidak gugup selama berjumpa dengannya nanti sore.
Aku mengenakan baju hitam yang dulunya hadiah ulang tahunku darinya. Sudah lama aku tak mengenakan baju ini. Déjà vu mengitari pikiranku sesaat setelah aku memakai baju itu. Dan sudah saatnya aku berangkat menuju tempat yang sudah kami sepakati untuk bertemu, taman kota. Jarak asramaku dengan taman kota sekitar 10 menit. Seperti biasa, aku akan mengendarai sepeda motorku kesana. Selama perjalanan aku bertanya-tanya dalam hatiku, apa yang akan ia bicarakan setelah 2 bulan tidak saling memberi kabar.
Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 5 lebih dan kami berdua tepat waktu berjumpa di taman ini. Rupanya ia kesini diantar oleh teman dekatnya. Taman ini merupakan tempat yang dulu sering kali kami kunjungi. Kepingan demi kepingan memori yang bersemayam di taman ini perlahan mulai menghantuiku. Sejuk rasanya bisa kembali bersua dengannya setelah sekian purnama. Obrolan kami dibuka dengan topik-topik ringan yang sesekali terselip candaan dan tawa diantara kami. Suasana terasa hangat sekali walaupun sang surya seiring waktu tergantikan oleh cantiknya dewi malam. Namun, keadaan bahagia ini tidak berlangsung lama begitu ia mengganti topik obrolan dan memberitahuku bahwa besok ia sudah tidak satu almamater lagi denganku. Aku tertegun mendengarnya sambil mencoba mencerna yang dia katakan. Ditengah rasa kaget, aku menanyakan kemana ia akan pindah. “Jakarta,” balasnya singkat. Wow, itu kota yang jaraknya 552 kilometer dari sini. Aku mulai merasakan suasana menjadi sedu ketika ia mendekatiku dan memegang tanganku. Perlahan ia mulai bercerita alasan ia pindah. Perlahan aku mulai memahami berbagai masalah yang ia alami selama ini. “Maaf aku baru memberitahumu sekarang, aku berharap kita punya lebih banyak waktu lagi untuk mengobrol,” kata ia yang sedikit menahan tangis. Ia berangkat ke Jakarta esok pagi. Waktu yang kami punya hanyalah malam ini saja. Kami memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk mengingat kembali hal-hal yang pernah terjadi dulu dan memberi wejangan satu sama lain sebelum akhirnya ia meninggalkan kota ini.
Perlahan rintik hujan mulai mengguyur kota, obrolan kami terhenti pukul 8 malam ketika ia sudah mendapat telefon dari ayahnya yang menyuruhnya segera kembali. “Bagaimana kalau kita melanjutkan obrolan ini di perjalanan?” tanyaku sedikit menggodanaya. Dia pun mengiyakan ajakanku. Kami menghabiskan sisa waktu yang ada di perjalanan pulang, melewati setiap sudut kota yang dulu sering kami lewati, membeli beberapa jajan favorit kami di stan jajanan malam, dan menghabiskannya sembari mengobrol menuju rumahnya.
Hampir pukul 9 malam, aku harus segera mengantar ia ke rumahnya. Kecepatan 70 dan sedikit ku tambah agar segera tiba di rumahnya. Sedikit basah kami terkena gerimis malam ini. Ia berlindung dibalik tubuhku dari hujan dan perlahan mulai melingkarkan tangannya di pinggangku. Kami menikmati momen-momen di malam itu dengan penuh makna. Setibanya kami di depan gerbang rumah, ia turun dan terlihat air mata kecil turun melewati pipinya. Beribu ucapan yang saling mendoakan untuk kedepannya juga sedikit tangis mewarnai perpisahan kami malam ini di depan gerbang rumahnya. Kami mengakhiri malam ini dengan pelukan hangat dan ucapan perpisahan yang manis.
Inilah akhir dari perjalanan kami yang panjang selama di kota kecil ini. Tidak ada satupun penyesalan dalam kisah kami. Apakah akan bisa bertemu lagi esok hari? Tak ada yang tahu. Pada akhirnya, semua yang bertemu pasti akan berpisah.
Komentar
Posting Komentar